Wednesday, 20 June 2018

Teknologi Alat Tangkap Trawl (Pukat Harimau) yang Berpengaruh pada Hasil Tangkapan Nelayan Tradisional di Laut Maluku

TUGAS ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang


Indonesia memiliki kekayaan hasil laut yang melimpah, khususnya di Maluku. Laut Maluku adalah laut yang kaya dengan hasil lautnya karena laut maluku masuk dalam Segitiga Terumbu Karang yang disebut juga sebagai “Amazon of the Seas” mencakup wilayah perairan tengah dan timur Indonesia, Timor Leste, Filipina, Sabah-Malaysia, Papua Nugini, dan Kepulauan Salomon diperkirakan dihuni sekitar 2.500 spesies ikan dan 500 jenis terumbu karang.



Dari hasil laut yang melimpah itulah maka masyarakat Maluku terus melakukan penangkapan hasil laut untuk diolah sebagai salah satu bahan pokok makanan masyarakat Maluku. Mereka memperoleh hasil laut menggunakan kapal ikan besar ataupun kecil yang dilakukan berkelompok ataupun perorangan. Alat tangkap digunakanpun bervariasi diantaranya huhate, jaring apung, jaring bobu, kail dan sebagainya. Semuanya itu menunjukan seni yang berbeda dari masyarakat Maluku.

Semakin canggih alat tangkap maka itu semakin baik dan semakin banyak hasil tangkapan namun, berbeda dengan alat tangkap Trawl (Pukat Harimau) karena semua hasil laut terangkat, bahkan ekosistem laut yang belum bisa untuk ditangkap pun semua terangkut di dalam Trawl pukat harimau ini. Hal, ini menyebabkan ekosistem laut mungkin saja berkurang dan perkembangan ekosistem terputus dan ini berdampak pada nelayan tradisional di Maluku.

Semenjak berkembangnya Trawl ini maka pendapatan para nelayan pun berkurang, itu dapat dilihat ketika banyak nelayan yang beralih fungsi dan memilih untuk bekerja di darat saja. Sebagai bagian dari masyarakat Maluku kami merasa hal ini perlu diperhatikan dan di tindak lanjuti oleh pemerintah. Ini salah satu perkembangan IPTEK yang memberikan dampak negatif bagi kebudayaan di Maluku, tapi juga pasti ada banyak masyarakat yang bingung dengan penggunaan alat tangkap Trawl padahal mereka juga memanfaatkan hasil laut, untuk itulah kami juga akan memaparkan cara kerjanya yang berdampak pada ekosistem laut.

B. Rumusan Masalah
1. Benarkah Laut Maluku adalah Laut yang kaya akan Ekosistem Lautnya?
2. Apa itu Alat tangkap Trawl serta sistem kerjanya yang merusak ekosistem laut?
3. Apa Dampak Teknologi alat tangkap Trawl (Pukat Harimau) bagi hasil tangkapan nelayan di Maluku?
4. Bagaimana kebijakan pemerintah menindaklanjuti hal ini?

C. Tujuan
1. Mengetahui kelimpahan ekosistem laut Maluku
2. Mengetahui sistem kerja alat tangkap trawl  yang merusak ekosistem laut di Maluku
3. Mengetahui dampak yang dihasilkan oleh teknologi alat tangkap trawl (Pukat Harimau) bagi hasil tangkapan nelayan di Maluku.
4.Mengetahui kebijakan pemerintah mengenai hal ini

PEMBAHASAN
A. Laut Maluku dan Ekosistemnya


Anugerah terbesar bagi Indonesia sebagai Negara Kepulauan Bahari (Archipelagic State) adalah letaknya yang sangat unik dan strategis dalam konfigurasi peta bahari dunia, berupa untaian pulau-pulau yang sambung-menyambung dan berada diantara Benua Asia dan Benua Australia serta melintang diantara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. [1]


Laut Indonesia banyak menyimpan kekayaan alam. Dengan luas lautan hampir 70% dari total keseluruhan luas negara Indonesia, Sebesar 14 persen dari terumbu karang dunia ada di Indonesia. Diperkirakan lebih dari 2.500 jenis ikan dan 500 jenis karang hidup di dalamnya, tetapi belum banyak dipahami betul nilainya bagi bangsa Indonesia. Terumbu karang merupakan pusat keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia yang memiliki struktur alami serta mempunyai nilai estetika yang tiada taranya. Selain sebagai lingkungan yang alami, terumbu karang juga mempunyai banyak manfaat bagi manusia dalam berbagai aspek ekonomi, sosial dan budaya.

Negara kita terletak di daerah khatulistiwa yang selalu hangat dan sangat mendukung kehidupan berbagai jenis tumbuhan dan hewan, sehingga negara ini memiliki keanekah ragaman hayati yang tinggi dan dikenal sebagai negara “Mega-Diversity”. Namun, jika digabungkan dengan keanekah ragaman hayati dan pesisir lautan, kemungkinan besar akan menjadi negara no satu di dunia dalam tingginya keanekah ragaman hayati. Upaya untuk memanfaatkan kekayaan laut dan dasar laut meliputi sumberdaya yang terbarukan (hayati), dan yang tak terbaharukan (nirhayati) dan energi.[2]

Kekayaan laut Indonesia memiliki potensi yang
tinggi dari segi perdagangan hasil laut. Dengan keaneka ragaman dan berlimpahnya kekayaan laut negri ini, Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor ikan, udang dan berbagai jenis hewan laut lainnya untuk dikirim ke luar negeri utuk diolah sebagai bahan makanan, ikan-ikan Indonesia sudah banyak di kirim ke jepang, china, korea dan beberapa negara lain di benua asia dan bahkan sudah menembus benua amerika. Dari hal tersebut, kita dapat brpendapat bahwa kekayaan laut Indonesia tidak hanya indah, tetapi memiliki kualitas internasional, sehingga banyak negara asing yang menyukai mutu dari ikan-ikan dari laut Indonesia.[3]
Indonesia memiliki jenis ikan yang banyak yang hidup serta berkembang biak di perariran Indonesia, sangat disayangkan sekali belum dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh rakyat Indonesia, nelayan Indonesia belum dapat hidup makmur, padahal negara kita terkenal dengan kekayaan lautnya. Pemerintah terkesan seperti tutup mata dan tidak terlalu menanggapi permasalahan mengenai banyaknya nelayan asing, yang secara sengaja menggunakan bendera Indonesia di kapal mereka, lalu bebas menangkap ikan di daerah laut Indonesia. Hal tersebut menunjukan lemahnya hukum dan kurangnya ketegasan dan tindakan pengamanan perairan Indonesia dari pemerintah. Oleh karena lemahnya perlindungan pemerintah terhadap laut Indonesia, maka menyebabkan banyak kerusakan kekayaan laut Indonesia, seperti kerusakan terumbu karang akibat penggunaan pukat harimau, penggunaan bom ikan, dan banyak hal lainnya, sehingga banyak kerusakan yang diakibatkan oleh hal-hal tersebut.

Laut di Maluku yang memiliki tingkat ekosistem yang tinggi adalah Laut Banda dan Laut Arafura. Laut Banda memiliki tingkat klorofil serta plankton yang tinggi karena terdapat 2 lempengan besar bertemu yaitu Lempengan Eurasia dan Lempengan Australia. Plankton adalah suatu organisme yang berukuran kecil yang hidupnya terombang-ambing oleh arus dilautan bebas. Ukuran kecil tidaklah mengandung arti bahwa mereka kuranglah penting tapi mereka merupakan sumber makanan bagi jenis ikan pelagis yang hidup di lautan lepas. Dengan kata lain kelangsungan hidup ikan tergantung pada banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Ikan merupakan salah satu sumber makanan yang penting bagi manusiaa. Nah, kelimpahan ini terlihat di Laut Banda. Sama halnya juga dengan Laut Arafura memiliki tingkat ekosistem yang tinggi sehingga memicu adanya kapal-kapal asing yang mencari ikan di sana, [4] dan bahkan Paparan Sahul (Laut Aru) menjadi daerah distribusi ikan terbesar. [5] Jadi, dapat dikatakan bahwa Laut di Maluku memiliki banyak kekayaan alam laut yang melimpah bahkan sangat melimpah.

B. Alat tangkap Trawl (Pukat Harimau) serta Sistem Kerjanya
Teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan trawl di Indonesia telah dikenal sejak zaman penjajahan Belanda, walaupun pada saat itu masih dalam percobaan. Pada tahun 1966 trawl sering disebut dengan pukat harimau mulai marak dioperasikan, yang bermula dari Tanjung Balai Asahan kemudian menyebar ke berbagai perairan lainnya.

Trawl merupakan jaring yang berbentuk kerucut yang dioperasikan dengan menghela di dasar, pertengahan dan permukaan perairan dengan menggunakan kapal. Untuk membuka mulut jaring kearah samping atau secara vertikal digunakan otterboard dan untuk membuka kearah atas dipasang pelampung pada tali ris atas dan pemberat pada tali ris bawah. Trawl ini akan diturunkan dari kapal dengan kedua mulutnya dibuka kemudian kapal bergerak menuju gerombolan ikan, dan bila dilakukan dengan waktu yang lama maka semua organisme akan masuk di dalam jaring kemudian di angkat. Berdasarkan daerah operasi traw dapat dikelompokan menjadi tiga yaitu : 1) trawl dasar (bottom traw), 2) trawl pertengahan (midwater trawl), dan trawl permukaan (pelagic trawl). Trawl dasar dioperasikan tepat atau di dekat dasar perairan. Trawl permukaan dioperasikan di permukaan. Trawl pertengahan dioperasikan pada kedalaman di antara keduanya.
Penggunaan trawl pada dasar perairan  merusak habitat serta penggunaan mata jaring yang kecil juga menyebabkan tertangkapnya berbagai jenis biota yang masih anakan atau belum matang. Jaring trawl tersebut menyebabkan semua unsur organisme serta ekosistim dasar laut akan terangkat masuk ke dalamnya, sehingga dasar laut tersebut kehilangan semua ekosistem.
Abdullah Habibi (Manajer Perbaikan Perikanan Tangkap dan Budidaya) menegaskan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumber daya perikanan yang sudah mencapai status tangkap lebih yang antara lain diakibatkan oleh produktivitas penggunaan trawl.[6]

Semua produktifitas hasil tangkapan tidak semua di ambil, tetapi semua hasil tangkapan yang masih juvenil (anakan) akan di buang kembali. Tertangkapnya hewan hasil tangkapan sampingan (bycatch) serta pembuangan hasil tangkapan sampingan (discards) oleh kapal-kapal trawl dasar telah menjadi perhatian di dunia. Di berbagai tempat di Indonesia, ikan hasil tangkapan sampingan dan discards tersebut umumnya didominasi oleh ikan berukuran kecil yang umumnya muda. Hal ini menyebabkan bukan hanya stok ikan sasaran akan mengalami ancaman overfishing, tetapi juga stok ikan-ikan lainnya berikut sejumlah jenis hewan laut yang dilindungi.

Ada berbagai alasan hasil tangkapan sampingan  terpaksa dikembalikan ke laut. Armada perikanan komersial biasanya memfokuskan diri pada satu atau beberapa jenis tangkapan, seperti terjadi pada armada perikanan trawl di Arafura (Evans dan Wahju, 1996; Purbayanto dan Riyanto, 2005). Menurut Alverson alasan lain adalah hasil tangkapan sampingan tidak bernilai ekonomi yang signifikan jika harus diangkut, didaratkan dan dijual, misalnya karena ukurannya terlalu kecil, tidak ada yang akan membelinya, atau tergolong sebagai barang ilegal karena ada larangan menyimpan, mengangkut atau memperjual-belikan.[7] Selain itu ada juga alasan teknis, seperti terbatasnya ruang penyimpanan ikan karena sudah terisi penuh, baik oleh target species maupun tangkapan sampingan yang bernilai ekonomi. Pengembalian ini ke laut termasuk upaya baik namun manfaat pengembalian jenis hasil tangkapan ini sangat ditentukan oleh kemampuan ikan untuk bertahan hidup segera setelah dibuang ke laut. Menurut Wassenberg dan Hill (1988) menyatakan bahwa dari 85% dari tangkapan sampingan krustase yang dibuang ke laut dan hanya sekitar 20% yang dapat bertahan hidup.[8] Rendahnya daya tahan hidup dari discards akan berdampak kepada menurunnya populasi spesies ikan yang menjadi bycatch dan berpotensi besar berdampak terhadap populasi hewan-hewan lain yang terdapat dalam jejaring makanan pada suatu ekosistem laut, mamalia, burung dan ikan lainnya. Kerugian dari adanya discards yang tidak dapat bertahan hidup adalah ketidak-efisienan operasi penangkapan ikan akibat jumlah tenaga kerja dan waktu yang terpaksa harus dikerahkan untuk menanganinya.
 Beberapa dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, pengembalian hasil tangkapan, diantaranya :
1. Kerugian akibat hilangnya makanan potensial yang baik.
2. Berdampak buruk terhadap lingkungan dasar perairan dan
3. Mengurangi populasi ikan target dan ikan bukan target.

Persoalan lain yang ditemukan menghadapi sektor perikanan laut nasional tentang Trawl yaitu masih banyaknya kapal ikan asing yang secara ilegal beroperasi melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Nusantara. dari perhitungan yang dilakukan oleh DKP, kita dikejutkan oleh angka sementara kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan ilegal tersebut, yang berkisar antara 1,8 sampai 4 miliar dolar US per tahun.
Hasil tangkapan Berlebihan (Overfishing)

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa, penangkapan yang berlebihan akan berpengaruh pada ekosistem hewan laut. Sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup ikan, serta banyak ikan yang terpaksa dibuang kembali kelaut karena tidak adanya nilai jual.

Dari data perikanan laut tercatat bahwa data potensi perikanan laut Indonesia, hasil reevaluasi cadangan pada tahun 2000 berjumlah sekitar 6,1 juta ton per tahun bahkan meningkat setiap tahunnya. Hal ini pasti mendorong Trawl untuk terus melakukan penangkapan menambah jumlah dan skala ukuran alat tangkap. Akibat selanjutnya, akan cepat  terjadi eksploitasi berlebihan pada perikanan laut. Seperti kenyataan yang menunjukan bahwa wilayah perairan utara Pulau Jawa ternyata sudah Overexploitasi. Demikian juga wilayah lain, yang rata-rata menunjukan kecendrungan yang serupa dilihat dari lamanya operasi kapal untuk satu periode penangkapan.[9]

Daerah tempat dioperasikannya Trawl pukat harimau dapat dilihat di gambar ini. 

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa hampir seluruhnya daerah alat tangkap trawl dioperasikan di daerah perairan Maluku, diantaranya Laut Banda, Laut Aru, Laut Seram serta Laut Maluku.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya kekurangan ikan bukan hanya dipengaruhi oleh Trawl saja, namun faktor Alam lainnya juga mempengaruhi walaupun terasa sangatlah kecil di daerah dekat pesisir.

C. Faktor Penyebab lainnya serta Dampak Trawl bagi Nelayan Tradisional di Maluku

1. Faktor Penyebab lainnya
Selain Trawl ada faktor-faktor yang sedikit berpengaruh pada lingkungan laut diantaranya adalah :
-Pencemaran laut karena limbah industri.
-Sampah yang menumpuk akibat adanya banjir.
-Sedimentasi yang meningkat

Faktor-faktor diatas memberikan dampak negatif bagi lingkungan khususnya di daerah pesisir. Namun di laut dalam Trawl sangatlah berpengaruh bagi kelangsungan hidup biota laut. Di laut dalam tersebut ketika sumber kekayaan laut menurun akibat trawl maka harus ada penanganan penting, namun  biasanya di laut dalam cara yang mampu untuk mengembalikan hasil laut yang banyak hanyalah alam itu sendiri. Ketika Trawl sudah mengambil banyak hasil laut maka pastinya para nelayan tradisional mengalami kekurangan hasil tangkapan untuk itulah Trawl harus di hentikan dan biarkanlah alam untuk kembali berproses menghasilkan hasil lautnya sendiri walaupun memerlukan waktu yang sangat lama.

2. Dampak Trawl bagi Nelayan Tradisional
Bila digunakan sampai ke dasar dari hal ini dapat dikatakan bahwa ekosistem akan hilang, dan bila hal ini dilakukan terus menerus maka suatu saat bisa saja kita yang memiliki daerah laut yang sangat luas akan mengimpor ikan dari negara lain. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh penentu kebijakan adalah bagaimana menilai kerusakan akibat ekternalitas (pencemaran, Misalnya) dalam kaitannya dengan depresiasi sumber daya alam. Hipotesis menyatakan bahwa sumber daya yang terdepresiasi akibat kerusakan lingkungan akan menyebabkan harga Output naik (karena Produksi berkurang), sehingga mengakibatkan surklus konsumen berubah.[10]

Pada tahun 1966 trawl sering disebut dengan pukat harimau mulai marak dioperasikan dan pada 1980, Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang mendorong pengelolaan sumber daya laut yang berkelanjutan. Kala itu, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawls (Pukat Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali; guna menjaga kesehatan habitat serta produktivitas penangkapan nelayan tradisional. Namun dalam dua dekade terakhir, alat penangkapan ikan jenis trawls telah berkembang pesat dalam bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak ramah lingkungan.

Selain itu, kajian yang dipaparkan oleh WWF-Indonesia ini juga menunjukkan bahwa persentase udang dan ikan sebagai target tangkapan trawls berkisar antara 18-40% dari total komposisi tangkapan, sementara sisanya adalah tangkapan sampingan (bycatch) yang tidak bernilai ekonomis tinggi dan akan dibuang (discarded). Status eksploitasi sumber daya ikan dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.45/2011 menyatakan bahwa potensi untuk sumber daya ikan demersal sudah mencapai status eksploitasi lebih yang salah satunya disebabkan oleh pukat hela, dan potensi sumber daya udang dalam status tangkap lebih (overfishing).[11]

Nelayan itu adalah masyarakat yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahu/kapal tidak dikategorikan sebagai nelayan. [12] Nelayan (tradisional), sebagai sumberdaya manusia yang berperan sangat penting dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sampai sekarang, merupakan komponen usaha perikanan yang tidak tersaingi oleh perikanan berteknologi tinggi, walaupun kepentingan hidup mereka sering terampas oleh ketamakan perikanan berteknologi tinggi.

Dari hasil wawancara yang dilakukan lakukan bagi para nelayan tradisional maka hampir semuanya tidak menyetujui adanya Trawl ( Pukat harimau), Korneles Kastanya (Nelayan Desa Waai) mengatakan bahwa : memang dia belum terlalu banyak tau tentang pukat harimau tetapi dia mengemukakan bahwa pukat adalah sejenis jaring yang berfungsi untuk menangkap ikan, tetapi hal ini dilarang karena merusak ekosistem laut, menurutnya penggunaan pukat harimau ini sangat merugikan lingkungan dan juga para nelayan seperti dirinya karena bibit-bibit ikan akan mati dan itu membuat para nelayan kehilangan mata pencaharian mereka, sebaiknya untuk mendapatkan ikan yang banyak tetapi tidak merugikan adalah menggunakan kail, jaring biasa selain itu bodi serta perahu yang merupakan alat transportasinya. Harapannya  pukat harimau tidak digunakan di negara ini khususnya Negeri Waai, karena biarpun teknologi canggih tetapi berdampak buruk bagi manusia dan lingkungan itu sia-sia.

Nelayan tradisional di Desa Galala dan Negri Hative Kecil juga berpendapat yang sama dengan Korneles Kastanya, bagi Vide Persulessy (Kapten Kapal Ikan Irsami Prima 01), dia mengatakan bahwa dari tahun ke tahun hasil tangkapan mulai berkurang, tempat pencaharian ikan yang dulunya dekan dengan pulau Ambon sekarang pencahariaannya sudah lebih jauh dan memakan waktu yang lama. Sehingga, hal ini berdampak bagi kami sebagai nelayan yang memiliki seni yang cukup unik yaitu dengan menggunakan Huhate (Alat tangkap ikan yang memakai bambu). Bahkan masyarakat non nelayan pun mengecam hal ini dimana ekosistem laut suatu saat akan mengalami kepunahan atau tidak ada keberlangsungan organisme laut.

Sebagian nelayan tradisional di Desa Galala dan Negri Hative Kecil juga banyak yang berahli fungsi dari nelayan dan mencari pekerjaan lain, seperti menjadi tukang ojek. Bagi mereka lebih baik di darat saja dan mencari nafkah melalui pekerjaan di darat dari pada harus kelaut sampai seminggu namun belum tentu mendapat hasil.

D.  Kebijakan Pemerintah Mengenai Alat Tangkap Trawl (Pukat Harimau)
Fakta dari lapangan menunjukkan bahwa alat penangkapan ikan jenis trawls masih merajalela di perairan Indonesia. Maka pada Tahun pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 39 Tahun 1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawls (Pukat Harimau) di Perairan Jawa, Sumatera dan Bali; guna menjaga kesehatan habitat serta produktivitas penangkapan nelayan tradisional. Namun dalam dua dekade terakhir, alat penangkapan ikan jenis trawls telah berkembang pesat dalam bentuk serta nama yang beragam, dan semuanya mengacu pada sifat penangkapannya yang tidak ramah lingkungan.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan banyak kapal yang dimanipulasi untuk bisa menangkap ikan menggunakan trawl atau pukat harimau. Susi menjelaskan banyak kapal di atas 300 gross ton dimanipulasi bobotnya hingga menyusut sampai 25 gross ton. Sebab, kapal yang bobotnya di bawah 30 gross ton mengurus perizinan surat izin penangkapan ikan (SIPI) melalui pemerintah daerah, bukan ke pusat. “Karena di beberapa daerah masih ada yang memperbolehkan penggunaan trawl,”
Akibat penggunaan trawl ini, menurut Susi, banyak nelayan yang sulit mendapatkan ikan. Dengan demikian, untuk mendapatkan ikan, nelayan dari suatu daerah harus mencari ke perairan yang masih banyak ikannya. Hal ini memicu timbulnya konflik horizontal.

Larangan penggunaan alat tangkap tak ramah lingkungan sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Namun aturan itu, menurut Susi, tidak diindahkan dan banyak yang melanggar.

Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, Susi berharap bisa meyakinkan masyarakat bahwa penggunaan trawl berbahaya bagi kelangsungan sumber daya laut. “Sumber daya laut ini harus kita jaga bersama, akan dapat dinikmati anak-cucu kita.[13]

Bagi kami Peraturan Menteri untuk menghentikan total penggunaan alat penangkapan ikan jenis trawl di perairan Indonesia merupakan langkah yang tepat, karena alat tangkap tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat laut, pemborosan sumber daya laut, mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi biota kunci yang menjaga keseimbangan alam.


PENUTUP 
Kesimpulan
Dari uraian artikel di atas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Maluku memiliki tingkat kekayaan ekosistem laut yang sangat tinggi dan mampu untuk memberdayakan serta menghidupi setiap nelayan tradisional.
2. Teknologi Trawl (Pukat Harimau) menyebabkan banyak sekali ekosistem laut rusak dan berdampak pada nelayan tradisional di Maluku.
3. Semua nelayan tradisional mengalami dampak negatif dari penggunaan alat tangkap Trawl (Pukat Harimau) yaitu berkurangnya hasil tangkapan sehingga mereka mengecam penggunaan alat tangkap ini.
4. Kebijakan pemerintah harus terus dilakukan dan di awasi agar alat tangkap ini tidak dioperasikan.

Saran
Dari artikel ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi semua orang tentang penyalagunaan IPTEK yang menyebabkan kerusakan Alam dan berdampak bagi para nelayan tradisional dan kita harus menjadi orang-orang yang bertanggung-jawab, serta tidak mementingkan diri sendiri dan yang mengabaikan kelestarian alam laut di Maluku. Kita harus menjadi orang yang peduli akan keindahan laut di Maluku.


Catatan Kaki
[1] Djoko Pramono. Budaya Bahari. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hal. 1
[2] John Pieris. Pengembangan Sumberdaya Kelautan. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2001). Hal. 50-51
[3] http://laut-1992.blogspot.co.id/2011/11/kekayaan-laut.html. diakses tanggal 30 April 2016
[4] Bobby Talakua. Kondisi Fisik Oseanografi Laut Aru. (Ambon : Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, 2011). Hal. 1
[5] D. Sahetapy, F. Rijoly dan J. M. F. Sahetapy. Ikhtiologi. (Ambon : Modul Kuliah, 2008). Hal. 23
[6] http://www.wwf.or.id/?37423/Alat-Tangkap-Trawl-Ancam-Keberlanjutan-Sumber-Daya-Laut. Diakses tanggal 30 April 2016
[7] Ronny Wahju. Artikel, Kajian Perikanan Trawl Demersal : Evaluasi tiga jenis bycatch reduction Device (brd). (Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 2012) Hal 3
[8] Ibid.,
[9] Djoko Pramono. Op. Cit., Hal. 18-19
[10] Akhmad Fauzi, Suzy Anna. Pemodelam Sumberdaya Perikanan dan Kelautan : Untuk Analisis Kebijakan. (Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hal. 201
[11] http://www.wwf.or.id/?37423/Alat-Tangkap-Trawl-Ancam-Keberlanjutan-Sumber-Daya-Laut. Diakses pada tanggal 30 April 2016
[12] Arif Satria. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. (Jakarta : Yayasan Pusat Obor Indonesia, 2015). Hal 27.
[13] https://m.tempo.co/read/news/2015/02/03/090639483/menteri-susi-bongkar-modus-tipu-tipu-kapal-trawl. Diakses tanggal 30 April 2016



DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Satria. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. 2015 Jakarta : Yayasan Pusat Obor Indonesia.
2. Fauzi Akhmad dan Suzy Anna. 2005. Permodelam Sumberdaya Perikanan dan Kelautan : Untuk Analisis Kebijakan. Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama.
6. Pieris John. 2001. Pengembangan Sumberdaya Kelautan. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
7. Pramono. Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
8. Sahetapy, D. F. Rijoly dan J. M. F. Sahetapy. 2008. Ikhtiologi. Ambon : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
9. Talakua Bobby. 2011. Kondisi Fisik Oseanografi Laut Arafura. Ambon : Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
10. Wahju Ronny. 2012. Artikel, Kajian Perikanan Trawl Demersal : Evaluasi tiga jenis bycatch reduction Device (brd). Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut

No comments:

Post a Comment