Wednesday 20 June 2018

Agama dan Magi

TUGAS AGAMA HINDU, BUDHA. SUKU DAN KEBATINAN


PENGERTIAN
Agama
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Dalam sosiologi agama, Goode mendefenisikan berdasarkan perannya dalam perkembangan kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah agama sebagai epifenomena, sebuah refleksi atau ekspresi dari sisi yang lebih dasariah dan permanen yang ada dalam perilaku individual dan masyarakat manusia (Goode, 1951). Sementara E.B. Tylor mengatakan, agama sebagai kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual. Di mana masyarakat primitif memahami agama dalam pengalaman-pengalaman mental mereka. 

Magi
Magi atau Magis sering dihubungkan dengan sihir. Akan tetapi, menurut Honig, masyarakat primitif memahami Magis dengan iman. Di mana dalam kepercayaan mereka adalah suatu cara berfikir dan suatu cara hidup yang mempunyai arti lebih tinggi daripada apa yang diperbuat oleh seorang ahli sihir.[1] Magi berasal dari kata Persia maga, yang barang kali berarti imam. Hal ini berhubungan dengan para imam yang melakukan sihir, maka magi diartikan sebagai ilmu sihir dalam arti yang lebih luas. Di mana sihir yang dilakukan oleh perseorangan yang menunjuk pada suatu cara berpikir dan hidup yang seluruhnya bersandar pada proses pemikiran bahwa dunia dipenuhi oleh daya-daya gaib yang dapat dipergunakan apa yang dikehendaki.[2] Demikian dengan P.H. Embuiru, Magi didefenisikan secara etimologis, berasal dari kata Yunani mageia yaitu perbuatan ajaib yang dilakukan golongan imam (H. Embuiru, 1979 dikutip oleh Rm. Gregorius Kaha, SVD dalam http://yesaya.indocell.net/id984.htm). Namun, secara garis besar magi adalah kepercayaan dan praktik yang dilakukan oleh manusia yang dipahami dapat mempengaruhi kekuatan alam dan sesama mereka, entah untuk tujuan baik atau buruk dengan merekayasa kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi (Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama). dalam hemat kelompok, Magi adalah suatu kepercayaan dan praktek yang diyakini oleh manusia secara langsung dapat memberikan pertolongan serta mempengaruhi kekuatan alam semesta dan manusia untuk tujuan-tujuan tertentu, baik tujuan yang baik maupun tujuan yang jahat. Sebagai proses penyesuaian diri, magi memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat, karena magi dapat memberikan jawaban atas kondisi ketidakpastian dan ketidakberdayaannya manusia. Dalam hal ini, magi berarti praktek yang didasarkan pada semacam kekuatan adikodrati, di mana manusia, benda ataupun upacara tertentu dianggap dapat menghasilkan hal-hal yang penuh rahasia dan abnormal seperti ilmu sihir, ilmu gaib, jampi dan sebagainya. 
Dengan kata lain, Magi (sihir) adalah suatu fenomena yang sangat dikenal dan umumnya dipahami. Namun tampaknya sangat sulit dirumuskan dengan tepat. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa magi adalah kepercayaan dan praktik menurut mana manusia yakin bahwa secara langsung mereka dapat mempengaruhi kekuatan alam dari antar mereka sendiri, entah untuk tujuan baik atau buruk, dengan usaha-usaha mereka sendiri dalam memanipulasi daya-daya yang lebih tinggi. Mereka, yang mengetahui rahasia-rahasia penting, dapat mengusai daya-daya tak kelihatan yang memerintah dunia, dan karena itu mengontrol daya-daya ini demi kepentingan orang yang menjalankannya.[3]

JENIS MAGI
Berdasarkan Cara Pelaksanaan Yaitu Magi Kontak Dan Magi Imitatif.
Magi Kontak ialah magi yang berpangkal pada anggapan bahwa dengan jamahan, singgungan atau kontak terjadi peralihan “daya kekuatan” atau kesaktian dari yang satu ke orang lain. Misalnya, seorang dukun menyembuhkan penyakit dengan meludahi atau meniup atau menjamah tempat yang sakit itu. Sedangkan magi imitatif ialah magi yang berpangkal pada prinsip bahwa sesuatu hal atau keadaan dapat menimbulkan atau menolak hal atau keadaan lain yang serupa. Misalnya, seorang wanita hendak bersalin; dukun memberi perintah supaya semua pintu, jendela dan lemari dibuka lebar-lebar. Seorang wanita hamil; ia membuat boneka (bayi tiruan) dan selama mengandung, boneka itu dirawatnya baik-baik seperti merawat bayi. Pemburu, sebelum berburu terlrbih dahulu menusuk gambar binatang-binatang pada sehelai kertas, dengan harapan bahwa perburuannya akan berhasil (H. Embuiru, 1979). Dalam mempraktek magi terdapat tiga unsur pokok, yaitu unsur alat atau obat, artinya sesuatu yang dipakai; unsur upacara, artinya sesuatu yang dilakukan; dan unsur mantra, artinya sesuatu yang diucapkan (H. Embuiru, 1979).
 Berdasarkan Tujuan Dan Lingkungan Yaitu Magi Produktif, Magi Protektif Dan Magi Destruktif.
Magi produktif, misalnya magi untuk berburu, untuk kesuburan tanah, untuk membuat hujan, untuk membuat perahu, untuk mendapatkan untung dalam perdagangan. Disebut magi protektif, misalnya magi untuk menolak bahaya, untuk mengobati penyakit, untuk keselamatan dalam perjalanan, untuk perbuatan pantang, untuk menjaga harta benda. Disebut magi destruktif, misalnya magi untuk mendatangkan penyakit, malapetaka, angin topan, kematian dan sebagainya (H. Embuiru, 1979). 
Berdasarkan Akibat Yaitu Magi Putih Dan Magi Hitam.
Magi putih, adalah magi yang mendatangkan kebaikan, sementara magi hitam, adalah magi yang mendatangkan akibat buruk (seperti santet, dll) (H. Embuiru, 1979).

Persamaan dan Perbedaan Magi dan Agama
Meskipun perbedaan antara magi dan Agama harus diterima, kita tidak dapat menentukan suatu pemisahan yang luas antara keduanya karena memang ada kasus-kasus terjadinya peristiwa di mana magi merupakan isi dari fenomena religius. Unsur magis ini tidaklah semata-mata manipulative, unsur religius pun di sini tidak semata-mata lepas dari manipulatif sebagaimana sering diharapkan. Agama dapat juga bersifat individualistis, sedang beberapa upacara magis mempuyai sifat komunal dan bentuk sosial dalam pelaksanaannya.[4]
Dengan mengagumkan, Carl Gustav Diehl telah meringkaskan faktor-faktor yang membedakan magi dari agama dengan jelas, sebagaimana diajukan oleh berbagai ilmuwan mengenai persoalan ini.[5]

Sikap manusia: Agama memperlihatkan suatu pikiran yang tunduk. Magi memperlihatkan sikap yang memaksakan dan mementingkan diri (Soderblom); suatu pertentangan antara ketaatan dan kontrol. Seorang pribadi  religius memperlakukan yang adikodrati sebagai subjek sedangkan seorang ahli magi memperlakukannya sebagai objek;Magi memaksa yang ilahi, sedangkan agama adalah ketaatan. Dua Wilayah yang berbeda dan satu kesatuan besar supranaturalisme. Hakikat magi boleh dikata merupakan pemaksaan  demi kepentingankebutuhan kebutuhan organis yang sangat mendesak. magi yang sejati memungkinkan orang untuk mempengaruhi berlangsungnya  kejadian-kejadian lewat cara-cara psikis.

Hubungan Dengan Masyarakat: Agama adalah soal kemasyarakatan Gereja, sedangkan magi adalah persoalan individual.  Peribadatan yang terorganisasi lawan praktik-praktik individual pejabat yang tidak resmi, itulah penyihir.  Pada magi individu ada di garis terdepan.

Sarana: Magi adalah suatu teknik yang dirancang untuk mencapai tujuannya dengan cara menggunakan obat-obatan: kalau obat-obatan ini digunakan semata-mata sebagai sarana, sebagai suatu jenis muslihat khusus untuk memperoleh tujuan-tujuan tertentu maka kita berhadapan dengan magi

Tujuan: Kedekatan atau kesatuan dengan yang ilahi adalah agama, magi memperhitungkan tujuan-tujuan dalam hidup. Sarana demi tujuan itulah magi: tujuan itu sendiri rnenampilkan agama. sebagai praktik magi adalah pemanfaatan dan kuasa untuk tujuan-tujuan umum atau privat ini. magi terdiri dari tindakan-tindakan ekspresif dari suatu hasrat akan kenyataan.

Faktor tambahan: Pertentangan antara zat personal yang mempunyai hati dengan kekuatan-kekuatan yang dapat diperhitungkan. Pengenalan adanya suatu tata tertib transcendental dilawankan dengan tak adanya referensi transendental dan kuasa-kuasa diluar adiduniawi. apa pun yang ditunjukan pada Kuasa tak bernama adalah magi. Agama adalah kepercayaan pada sesuatu daya dalam alam yang lebih besar dari pada daya manusia sendiri. 
Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa magi berbeda dari agama. Pada hakikatnya magi bersifat manipulatif, meskipun  manipulasinya berlangsung dalam suasana takut dan hormat, kagum dan heran, sama seperti ciri-ciri dalam sikap religius juga. Agama haruslah berarti suatu tindakan langsung dari sudut pandangan si pelaku, sedang magi tak pernah merupakan suatu metode langsung sebab tanpa adanya sarana magi tak dimungkinkan. Tak bisa dikatakan adanya "suatu magi yang ilmiah” sebab semua magi bersifat mengelabui, magi adalah muslihat.

Hubungan Agama dan Dunia Magi
Kehidupan agama dapat disebut juga sebagai sebuah wujud kepercayaan manusia kepada hal gaib. Namun praktek agama telah mengalami perkembangan besar dibandingkan dunia magi.[6] Dalam penelitian J. G. Frezer menentang angapan yang lazim, seolang-olah magi merupakan bagian dari agama primitive. Ia justru melihat magi sebagai nene moyang ilmu modern.[7] Berdasarkan sejarah peradaban umat manusia dalam kehidupannya selalui diwarnai dengan magi, dengan asumsi bahwa setiap benda alam semesta memiliki kekuatan magis yang membentuknya serta melingkupinya. Demikian dengan agama yang merupakan respon terhadap kebutuhan akan konsepsi yang tersusun mengenai alam semesta dan mekanisme dalam menghadapi kegagalan yang timbul karena keterbatasan dan ketidakmampuan manusia dalam memahami serta meraamalkan kejadian dan peristiwa yang tidak dapat diketahui dengan tepat. [8]

Dalam hemat saya, perbedaan antara agama dengan magi yaitu agama merupakan suatu keyakinan serta kepercayaan yang dilatar belakangi oleh keterbatasan yang dimiliki manusia. Maka, agama terlahir atas pengakuan terhadap sesuatu yang gaib tanpa adanya hubungan sebab akibat, sedangkan magi merupakan suatu kepercayaan yang masih mengandung unsur keyakinan pada kemampuan atau kekuasaan manusia dengan suatu kegiatan yang mengundang bala bantuan melalui ritual, mantera yang telah dipercayai (Malinowski).
Dengan demikian, Magi dan agama adalah dua hal yang berbeda karena magi bersifat individualistis, sedangkan agama bersifat sosial. Magi merupakan urusan pribadi dan kepentingan pribadi seseorang kepada orang lain dengan tujuan tertentu. 
Walaupun agama dan magi adalah dua hal yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi. Tanpa unsur magis, agama dalam ajarannya kurang dapat diterima sebagai ajaran ekstasi. Seperti yang terdapat dalam magi pada masyarakat primitif seperti tongkat dan dalam kekristenan saat kini, masih mempertahankan sakramen dan doa (bdk. Reginald Scot, 1580, Ch. 1 melihat unsur magi dalam agama di Mesopotamia kuno).
Contoh: Keluaran 7:8-12, "Apabila Firaun berkata kepada kamu: Tunjukkanlah suatu mujizat, maka haruslah kaukatakan kepada Harun: Ambillah tongkatmu dan lemparkanlah itu di depan Firaun. Maka tongkat itu akan menjadi ular." Musa dan Harun pergi menghadap Firaun, lalu mereka berbuat seperti yang diperintahkan TUHAN; Harun melemparkan tongkatnya di depan Firaun dan para pegawainya, maka tongkat itu menjadi ular. Kemudian Firaunpun memanggil orang-orang berilmu dan ahli-ahli sihir; dan merekapun, ahli-ahli Mesir itu, membuat yang demikian juga dengan ilmu mantera mereka. 

Catatan Kaki
[1] A. G. Honig, Ilmu Agama, (Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2005), Hal 18
[2] Ibid.,  Hal 17
[3] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), Hal 47
[4] Ibid., Hal 54
[5] Ibid., Hal 55-58
[6] Antonius Atosokhi Gea, Character Building: Relasi dengan Tuhan, (Jakarta:Elex Media Komputindo, 2006), Hal 16-17
[7] A. Sudiarja, Agama di Zaman yang Berubah, (Yogyakarta: Kanisius, 2006) Hal, 50
[8] Bungaran Antonius Simanjuntak, Tradisi, Agama dan Akseptasi Modernisasi Pada Masyarakat Pedesaan Jawa, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016),  Hal. 17

DAFTAR PUSTAKA
1. G. Honig, Ilmu Agama, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2005
2. Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995
3. Antonius Atosokhi Gea, Character Building: Relasi dengan Tuhan, Jakarta:Elex Media Komputindo, 2006
4. A. Sudiarja, Agama di Zaman yang Berubah, Yogyakarta: Kanisius, 2006
5. Bungaran Antonius Simanjuntak, Tradisi, Agama dan Akseptasi Modernisasi Pada Masyarakat Pedesaan Jawa, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016

No comments:

Post a Comment