Thursday, 19 July 2018

GEREJA dan BUDAYA POPULER

  1. Gereja dan Kebudayaan (Budaya Populer)

Secara etimologi, gereja berasal dari bahasa yunani yaitu Ecclesia yang berarti dipanggil keluar.Berdasarkan etimologi ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa gereja adalah institusi, personal dan komunal yang dipanggil oleh Kristus dan di utus ke dalam dunia untuk memberitakan injil.
Secara etimologi, kebudayaan atau budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa inggris, kebudayaan disebut Culture, yang berasal dari bahasa latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan, tetapi bisa juga diartikan sebagai mengolah tanah atau bertani.
Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan itu ialah konsep pikir atau pandangan tentang norma, nilai dan kebiasaan atau adat-istiadat yang membentuk kehidupan manusia secara khusus dalam waktu dan tempat lingkungan tertentu. Budaya atau kebudayaan ialah suatu paradigma hidup yang melekat pada hidup manusia sesuai dengan konteks hidup di mana manusia itu berada serta mempengaruhi kehidupan manusia itu.
Sedangkan Budaya populer sering dijuluki  budaya massa karena dihasilkan massal dengan teknologi oleh dunia industri dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan. Budaya populer tersebar secara global dan menembusi batas-batas geografis, bahasa dan perbedaan primodial maupun sosial. Budaya ini penyebarannya terkait perkembangan teknologi informasi khususnya media massa elektronik dan internet.
Ciri – ciri budaya populer adalah dikenal sebagai budaya generasi muda masa kini yang bersifat cepat dan selalu baru setiap waktu.Budaya populer dianggap berbeda dari budaya klasik atau tradisional dengan pesan bagi khalayak ramai. Budaya populer sangat mempengaruhi pandangan  dan gaya hidup masyarakat di semua bidang kehidupan. Budaya populer umumnya tercermin melalui TV, Musik, Film, Fashion, shopping mall, internet, cafe, aktivitas sosial-politik, gaya hidup dll.
Pengaruh positif dan negatif budaya popular. Pengaruh positifnya, Pertama, musik gereja populer membantu pelayanan gereja dan menjadi sumber kekayaan Ilahi.Kedua, media sosial memudahkan akses informasi pelayanan gereja baik khotbah maupun kegiatan ibadah. Ketiga, umat berkreativitas dalam karya seni populer lewat lagu, tarian, puisi dan karya seni lainnya. Keempat, gereja memakai media massa, media sosial dan media elektronik untuk mendidik dan membentuk spiritualitas umat dengan kuatnya nilai moral. Pengaruh negatifnya, pertama, musik populer di gereja cenderung memanjakan jemaat dengan menguatnya teologi kemamuran, liriknya individualistik karena memakai kata “aku” terkesan egois dari pengalam pribadi yang subjektif dan bersifat komersiil untuk mencari keuntungan. Kedua, umat sangat kuat membentuk gaya hidup konsumerisme.Ketiga, budaya populer membentuk budaya instan, budaya manja dan budaya selera yang kuat dalam kehidupan umat karena karya budaya populer menyediakan segala kemudahan dan bersifat menghibur.Keempat, karya seni populer mempengaruhi moralitas umat karena pesan yang sarat nilai kekerasan, penipuan, pembunuhan dll.
Sikap Gereja terhadap budaya popular. Ada tiga pilihan sikap gereja terhadap budaya populer, yaitu: Pertama, gereja bersikap tidak ramah dan anti budaya populer. Karya seni populer cenderung dianggap negatif dan saingan gereja. Budaya populer lewat film, musik, tarian, internet dicurigai menghibur, membentuk pikiran maupun perilaku amoral (tidak bermoral) dari umat misalnya kekerasan, perselingkuhan, penghinaan, konsumtif dll. Kedua, gereja bersikap ramah terhadap budaya populer.Karya budaya populer diterima dan dipakai untuk menunjang pelayanan gereja. Gereja dan budaya populer tidak bersinggungan tapi saling mendukung.Keramahan gereja terhadap budaya populer menyebabkan gereja tidak kritis terhadap nilai negatif dari budaya populer. Ketiga, gereja bersikap kritis yakni pada satu sisi ramah terhadap budaya populer, tetapi sisi lain juga tidak menolak kearifan nilai budaya populer. Gereja menerima karya budaya populer tetapi tetap membangun sikap kritis untuk menguji dan membaharui karya budaya populer.
Sikap gereja khusus GPM harus bersikap positif dan kritis terhadap budaya populer.  Secara teologis, budaya adalah bagian dari karya Allah yang diciptakan dengan  dahsyat dan ajaib (Mzm. 139:4). Selain itu, budaya adalah respon manusia terhadap perintah Allah yang paling mendasar dan paling awal: “berkembang biaklah dan bertambah banyaklah…” (Kej 1:28). Budaya adalah cara kita memahami dan menjalani hidup di dalam dunia milik Allah. Karena itu, gereja mesti menerima dan menghargai karya budaya popular dengan kekayaan manfaat yaitu: a) budaya popular dihargai sebagai hasil karya kreativitas umat, b) media pemberi pesan moral,  sifat hiburan budaya popular diimbangi nilai dan pesan moral, c) memberi kritik sosial dari pengalaman nyata, dan d) sifat menghibur budaya popular diimbangi dengan pesan moraluntuk membangun dunia dan kemanusiaan. Penerimaan karya budaya popular diimbangi dengan sikap mengoreksi dengan membuka ruang perjumpaan dan dialog antara gereja dan budaya popular. Gereja mesti memakai kreativitas dan sifat menghibur dari dari karya budaya popular untuk menunjang pelayanan misi gereja.

2. Perjumpaan Injil dan Adat Dalam Sejarah


Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat diumpamakan seperti kuelapis.Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di Indonesia terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme, Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme.Intensitas pengaruh itu berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis, geografis dan sejarah masing-masing wilayah.Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.[1]
Dalam pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai unsur kebudayaan universal, terdiri dari : Sistem religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem teknologi.
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian. 

3. Gagasan Inkarnasi Kristus dan Kebudayaan
Makna dari Kristus adalah sang penyelamat semesta, adalah bahwa Allah sesungguhnya Penyelamat semua orang Ia bukanlah Allah umat tertentu saja. Tindakan Allah tidak terbatas pada suatu tradisi kebudayaan dan kesejarahan tertentu.Kristus telah merobohkan tembok-tembok pemisah semacam itu. Sekali kita mengakui Kristus di dalam Yesus, maka kita lihat bersama dengan Perjanjian Baru, khususnya dengan Yohanes dan Paulus, bahwa Kristus dan Roh-Nya bekerja di mana-mana. Tugas kita bukanlah untuk mendatangkan Kristus di mana la tidak hadir, melainkan untuk menemukan Dia di mana Ia berada, kadang-kadang dengan cara-cara misterius yang kita tidak ketahui. Proses menemukan Kristus ini bukanlah suatu pengkajian keterangan ilmiah atas kebudayaan dan sejarah, tetapi suatu usaha mendengarkan" di dalam dialog dengan orang-orang lain yang di dalam mereka kita lihat tengah berlangsung suatu dialog yang menyelamatkan antara Allah dan manusia.[2]
Hubungan antara Yesus Kristus dengan Allah di satu pihak dan dengan manusia di pihak lainnya, menimbulkan pertanyaan mengenai sifat-Nya.Teori tentang dua sifat Yesus, bergumul untuk menjawab pertanyaan mustahil bagaimana mungkin seorang yang sama dapat sekaligus adalah Allah dan manusia. Diskusi yang melulu akademis mengenai apa arti konsep keilahian dan keinsanian dan bagaimana konsep-konsep ini dapat dipersatukan, dalam hal ini kiranya tidak akan bermanfaat. Juga tidak akan banyak memperjelas jika kita men- diskusikan apakah keilahian Yesus Kristus seharusnya dilihat di dalam keinsanian-Nya atau melalui keinsanian-Nya. Adalah lebih penting menanyakan bagaimana gerangan Realitas yang dijumpai seseorang dalam diri Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan yang hidup dan bangkit, dalam totalitas hidup, kematian dan kebangkitan-Nya, dan bagaimana, melalui Dia, dimungkinkan pembaruan hidup''Ciptaan baru" [3] 

4.      Bagaimana Hubungan Gereja dengan Budaya
H. Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap Gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu :

a)      Gereja Anti Kebudayaan.
Gereja memandang dunia di bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan.Warga Gereja disebut oleh Injil adalah anak-anak terang, karena itu tidak hidup dalam kegelapan.Dunia kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus. [4]

b)     Gereja dari Kebudayaan
Kelompok yang menganut Gereja dari Kebudayaan ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia, antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya manusia.Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain, kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan Kristus.[5]
Tetapi kaum Gnostik Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan, tidak ada pertentangan antara keduanya.Dengan demikian ada perdamaian Injil dengan kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau masyarakat baru.Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens (200) dan Origines (185-254).[6]

c)      Gereja di atas kebudayaan.
Pandangan ini berawal dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani). Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum alam.Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpulkan bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada di bawah ordo supernaturalis.Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.

d)     Hubungan Gereja dan kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini, iman dan kebudayaan dipisahkan.Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam Kristus.Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup dalam iman dan hidup dalam kebudayaan.Dengan itu ada kemungkinan orang tidak lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan.[7]
Kedua lingkungan ini terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi dalam lingkungan dunia.[8]

e)      Gereja pengubah kebudayaan.
Banyak orang Kristen sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teori maupun dalam politik.Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan.Mereka juga menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini dianggap suci sebab berada di bawah gereja.Tapi adalah tidak benar, jika dikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang diciptakan gereja. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak.[9] 

5.      Tranformasi Kebudayaan dan Gereja
Transformasi kebudayaan adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan ke tingkat kebudayaan (pola hidup) yang sesuai dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia yang terus-menerus dikembangkan dan dihayati dalam hubungan dengan Allah"
Di dalam PL Israel sebagai bangsa telah mengalami suatu transformasi kebudayaan, yaitu dari kebudayaan bangsa pengembara menjadi kebudayaan bangsa yang menetap. Proses pemilikan atas tanah Kanaan yang dijanjikan itu dan pembentukan Israel sebagai bangsa yang menetap di Negeri Kanaan tidak lain hanya merupakan proses perubahan kebudayaan; transformasi kebudayaan. Kita telah mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu pola hidup dari suatu kelompok, masyarakat/bangsa.
Dengan demikian ada pandangan tentang double transformation, artinya bahwa tidak hanya gereja yang dapat mengubah  budaya, akan tetapi ada juga nilai-nilai budaya yang dapat mengubah gereja (memberi sumbangan terhadap Injil) yang tumbuh dari konteks budaya itu sendiri. Maka dari paparan di atas maka dapat dilihat dua hal yaitu: 1. Pentingnya budaya bagi Gereja dan 2. Pentingnya Gereja bagi budaya.

a)      Pentingnya Budaya Bagi Gereja.
Kita semua mengetahui bahwa alkitab ditulis dalam kurun waktu yang berbeda dan konteks budaya yang berbeda juga, dan hal itu turut mempengaruhi penafsiran penerima injil. Oleh karena itu, dalam pemberitaan injil yang diprakasai oleh gereja, sangat penting untuk melihat konteks budaya setempat dimana injil hendak diberitakan, karena sama dengan alkitab yang ditulis dengan konteks budaya yang berbeda, demikian juga semua daerah atau tempat memiliki budayanya masing-masing yang melekat pada diri masing-masing individu dan mempengaruhi jalannya pewartaan injil pada tempat atau daerah itu.
Oleh sebab itu gereja dalam pewartaan injil, tidak mungkin menggunakan budaya yang ada didalam alkitab dan memaksakan begitu saja agar budaya itu dapat diterima oleh masyarakat setempat.Contoh : dalam kebanyakan teks alkitab, ditulis dengan menggunakan sistim budaya patriakhi (dimana laki-laki yang berkuasa), sedangkan tempat yang hendak kita mewartai injil memiliki sistem budaya natural dimana laki-laki dan perempuan sama-sama berkuasa. Jadi ketika kita mewartakan injil dalam konteks budaya natural seperti itu, kita tidak bisa langsung begitu saja memaksakan dan mengharuskan agar masyarakat yang memiliki sistim budaya natural harus mengikuti sistim budaya patriakhi, jika kita memaksakan hal seperti itu, maka injil yang akan kita sampaikan tidak efektif dan tidak menyentuh bagi masyarakat yang memiliki budaya natural. Oleh karena itu dalam penyampaian injil, bagaimana gereja harus melihat budaya yang sudah berakar dalam masyarakat serta menjadikan budaya sebagai fasilitator penyampaian injil dimana injil hendak diwartakan sehingga dalam penyampaian injil bagaimana gereja tidak memaksakan budaya patriakhi tetapi gereja kembali merekontekstualisasikan budaya patriakhi dengan konteks budaya natural yang ada sehingga dalam penyampaian injil akan lebih efektif dan menyentuh masyarakat karena sesuai dengan konteks budaya masyarakat yang ada sehingga masyarakat lebih memahami dan mengerti injil yang disampaikan.

b)     Pentingnya Gereja Bagi Budaya.

Gereja dihadapkan dengan tiga pilihan sikap terhadap budaya, yaitu: akomodatif, konfrontatif dan transformatif.
Akomodatif, artinya gereja mengakomodasi atau menerima budaya sebagai bagian dari gereja.Gereja bersikap ramah terhadap budaya dimana terjadi perjumpaan harmoni antara gereja dan budaya.Sikap akomodatif ini teramati pada sikap Paulus ketika memberitakan Injil di Aeropagus, Atena untuk orang Yunani. Paulus memakai cara dan tradisi Yunani untuk pemberitaan Injil Kristus (lih. Kis. 17:16 – 34).
Konfrontatif, gereja berhadap-hadapan dengan budaya.Gereja bertentangan dengan budaya.Nilai budaya dan praktek upacara adat dianggap tidak tidak sesuai dengan kehendak Tuhan.Gereja cenderung curiga terhadap budaya dan upacara adat.Sikap konfrontatif ini ditunjukkan Petrus ketika berhadapan dengan Kornelius, perwira Italia di Yope.Petrus menganggap budaya dan kepercayaan-Nya lebih tinggi derajatnya dari kepercayaan orang asing (Kis. 10:1 48).
Transformatif,  hasil karya budaya diterima, dikritisi dan dibaharui sesuai kebenaran Injil Yesus. Alasannya, a) tidak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya dan 2) tidak ada kebudayaan yang statis. Tugas gereja adalah menguji, apakah kebudayaan itu sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan (Ef. 5 :10, 1 Tes. 5:21, 1 Yoh. 4:1).  Ada perjumpaan yang memungkinkan gereja dan budaya berdialog dan saling membarui.Gereja membarui budaya dan sebaliknya budaya membarui gereja.Tugas  gereja adalah memperbarui budaya dalam terang Injil (Rm. 3 :23 , 1 Yoh. 5:19), sebagai wujud sikap gereja  yang baru dan bersedia memperbarui diri.

Gereja harusnya memilih sikap ketiga yakni transformatif.Gereja berdialog dengan budaya berdasarkan kesadaran bahwa, baik gereja maupun budaya memiliki nilai moralitas masing-masing yang mesti dihargai.Gereja membaharui budaya dengan nilai kebenarannya, sebaliknya budaya juga memberi sumbangsih nilai moral bagi gereja.

Dalam keberlangsungan budaya, ada juga budaya yang memberi nilai positif maupun negatif dari maknanya maupun dari prakteknya. Oleh karena itu, peran gereja ialah untuk mentransformasikan budaya yang tidak baik agar menjadi baik dengan cara memberi makna yang baik lewat prosesnya dan lewat praktek dari budaya itu dan gereja harus tetap mempertahankan budaya yang baik tanpa merusak atau mentransformasi esensi dari budaya itu.


Catatan Kaki :

[2] R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia  2011). Hlm. 162
[3] Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia,  (Jakarta:BPK Gunung Mulia,  2006) hlm. 134-135
[4] Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya, (Jakarta : Petra Jaya, ___)Hlm 56
[5] Ibid., Hlm. 94
[6] Berkhof, I. H, Sejarah Gereja, (Jakarta, BPK G Mulia, 1986). Hlm. 41
[7 ]Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya, (Jakarta : Petra Jaya, ____). Hlm. 194
[8] Ibid., Hlm. 207
[9] Ibid., Hlm. 239



Daftar Pustaka

  1. Anton Wessels, Memandang Yesus,Jakarta:Bpk Gunung Mulia, 2001 
  2. David J. Hesselrave dan Edward Rommen. Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2009 
  3.  Helmut Richard Niebuhr, Christ and Culture, 1951 
  4.  Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 2005 
  5.  Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008 
  6.  R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, Jakarta: BPK Gunung Mulia  2011 
  7.  Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia,  Jakarta:BPK Gunung Mulia,  2006


Download Filenya, Klik Gereja dan Budaya Populer

No comments:

Post a Comment