- Gereja dan Kebudayaan (Budaya Populer)
Secara etimologi, gereja berasal dari bahasa yunani
yaitu Ecclesia
yang berarti dipanggil keluar.Berdasarkan etimologi ini, kita dapat menarik
kesimpulan bahwa gereja adalah institusi, personal dan komunal yang dipanggil
oleh Kristus dan di utus ke dalam dunia untuk memberitakan injil.
Secara etimologi, kebudayaan atau budaya berasal
dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.Dalam bahasa inggris,
kebudayaan disebut Culture, yang
berasal dari bahasa latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan, tetapi bisa juga diartikan sebagai mengolah
tanah atau bertani.
Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya atau kebudayaan
itu ialah konsep pikir atau pandangan tentang norma, nilai dan kebiasaan atau
adat-istiadat yang membentuk kehidupan manusia secara khusus dalam waktu dan
tempat lingkungan tertentu. Budaya atau kebudayaan ialah suatu paradigma hidup
yang melekat pada hidup manusia sesuai dengan konteks hidup di mana manusia itu
berada serta mempengaruhi kehidupan manusia itu.
Sedangkan Budaya populer sering dijuluki budaya massa karena dihasilkan massal dengan
teknologi oleh dunia industri dan dipasarkan untuk mendapat keuntungan. Budaya
populer tersebar secara global dan menembusi batas-batas geografis, bahasa dan
perbedaan primodial maupun sosial. Budaya ini penyebarannya terkait
perkembangan teknologi informasi khususnya media massa elektronik dan internet.
Ciri – ciri budaya
populer adalah dikenal sebagai budaya generasi muda masa kini yang bersifat
cepat dan selalu baru setiap waktu.Budaya populer dianggap berbeda dari budaya
klasik atau tradisional dengan pesan bagi khalayak ramai. Budaya populer sangat
mempengaruhi pandangan dan gaya hidup
masyarakat di semua bidang kehidupan. Budaya populer umumnya tercermin melalui
TV, Musik, Film, Fashion, shopping mall, internet, cafe, aktivitas
sosial-politik, gaya hidup dll.
Pengaruh positif
dan negatif budaya popular. Pengaruh positifnya, Pertama,
musik gereja populer membantu pelayanan gereja dan menjadi sumber kekayaan
Ilahi.Kedua, media sosial memudahkan akses informasi pelayanan gereja baik
khotbah maupun kegiatan ibadah. Ketiga,
umat berkreativitas dalam karya seni populer lewat lagu, tarian, puisi dan
karya seni lainnya. Keempat, gereja memakai media massa, media sosial dan media
elektronik untuk mendidik dan membentuk spiritualitas umat dengan kuatnya nilai
moral. Pengaruh negatifnya, pertama, musik populer di gereja cenderung memanjakan
jemaat dengan menguatnya teologi kemamuran, liriknya individualistik karena
memakai kata “aku” terkesan egois dari pengalam pribadi yang subjektif dan
bersifat komersiil untuk mencari
keuntungan. Kedua, umat sangat kuat
membentuk gaya hidup konsumerisme.Ketiga,
budaya populer membentuk budaya instan, budaya manja dan budaya selera yang
kuat dalam kehidupan umat karena karya budaya populer menyediakan segala
kemudahan dan bersifat menghibur.Keempat,
karya seni populer mempengaruhi moralitas umat karena pesan yang sarat
nilai kekerasan, penipuan, pembunuhan dll.
Sikap Gereja terhadap budaya popular. Ada tiga pilihan
sikap gereja terhadap budaya populer, yaitu: Pertama, gereja bersikap
tidak ramah dan anti budaya populer. Karya seni populer cenderung dianggap
negatif dan saingan gereja. Budaya populer lewat film, musik, tarian, internet
dicurigai menghibur, membentuk pikiran maupun perilaku amoral (tidak bermoral) dari umat misalnya kekerasan,
perselingkuhan, penghinaan, konsumtif dll. Kedua, gereja bersikap ramah
terhadap budaya populer.Karya budaya populer diterima dan dipakai untuk
menunjang pelayanan gereja. Gereja dan budaya populer tidak bersinggungan tapi
saling mendukung.Keramahan gereja terhadap budaya populer menyebabkan gereja
tidak kritis terhadap nilai negatif dari budaya populer. Ketiga, gereja bersikap
kritis yakni pada satu sisi ramah terhadap budaya populer, tetapi sisi lain
juga tidak menolak kearifan nilai budaya populer. Gereja menerima karya budaya
populer tetapi tetap membangun sikap kritis untuk menguji dan membaharui karya
budaya populer.
Sikap gereja khusus GPM harus bersikap positif dan kritis
terhadap budaya populer. Secara
teologis, budaya adalah bagian dari karya Allah yang diciptakan dengan dahsyat dan ajaib (Mzm. 139:4). Selain itu, budaya adalah respon manusia terhadap perintah Allah
yang paling mendasar dan paling awal: “berkembang biaklah dan bertambah
banyaklah…” (Kej 1:28). Budaya adalah cara kita memahami dan menjalani hidup di
dalam dunia milik Allah. Karena itu, gereja mesti menerima dan menghargai karya
budaya popular dengan kekayaan manfaat yaitu: a) budaya popular dihargai
sebagai hasil karya kreativitas umat, b) media pemberi pesan moral, sifat hiburan budaya popular diimbangi nilai
dan pesan moral, c) memberi kritik sosial dari pengalaman nyata, dan d) sifat
menghibur budaya popular diimbangi dengan pesan moraluntuk membangun dunia dan
kemanusiaan. Penerimaan karya budaya popular diimbangi dengan sikap mengoreksi
dengan membuka ruang perjumpaan dan dialog antara gereja dan budaya popular.
Gereja mesti memakai kreativitas dan sifat menghibur dari dari karya budaya
popular untuk menunjang pelayanan misi gereja.
2. Perjumpaan Injil dan Adat Dalam Sejarah
2. Perjumpaan Injil dan Adat Dalam Sejarah
Injil
diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh kebudayaan yang bentuknya dapat
diumpamakan seperti kuelapis.Lapisan-lapisan kebudayaan itu misalnya di
Indonesia terdiri dari lapisan yang diwarnai oleh agama pribumi, Hinduisme,
Buddhisme, Islam, Kristen dan terakhir modernisme.Intensitas pengaruh itu
berbeda satu dengan lain bergantung pada etnografis, geografis dan sejarah
masing-masing wilayah.Tetapi bagaimanapun Injil yang diberitakan itu tetap
berhadapan dengan kebudayaan bangsa-bangsa dan suku-suku.[1]
Dalam
pertemuan injil dan kebudayaan tersebut, secara khusus adalah dengan
unsur-unsur kebudayaan yang pasti terdapat dalam semua kebudayaan yang dinamai
unsur kebudayaan universal, terdiri dari : Sistem religi dan upacara keagamaan,
Sistem dan organisasi masyarakat, Sistem pengetahuan, Sistem bahasa, Sistem
Kesenian, Sistem Mata pencaharian, dan Sistem teknologi.
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.
3. Gagasan Inkarnasi Kristus dan Kebudayaan
Lapisan-lapisan kebudayaan itu tidak statis, masing-masing salingberpenetarasi, maka unsur kebudayaan yang universal itu selalu berada dalam perobahan. Demikianlah Injil selalu berhadapan dengan unsur-unsur kebudayaan tersebut dengan membawa nilai Injil secara khusus dengan sistem religi,sistem pengetahuan, kesenian dan mata pencaharian.
3. Gagasan Inkarnasi Kristus dan Kebudayaan
Makna dari Kristus adalah sang penyelamat semesta, adalah bahwa Allah
sesungguhnya Penyelamat semua orang Ia bukanlah Allah umat tertentu saja.
Tindakan Allah tidak terbatas pada suatu tradisi kebudayaan dan kesejarahan
tertentu.Kristus telah merobohkan tembok-tembok pemisah semacam
itu. Sekali kita mengakui Kristus di dalam Yesus, maka kita lihat bersama
dengan Perjanjian Baru, khususnya dengan Yohanes dan Paulus, bahwa Kristus dan
Roh-Nya bekerja di mana-mana. Tugas kita bukanlah untuk mendatangkan Kristus di
mana la tidak hadir, melainkan untuk menemukan Dia di mana Ia berada,
kadang-kadang dengan cara-cara misterius yang kita tidak ketahui. Proses
menemukan Kristus ini bukanlah suatu pengkajian keterangan ilmiah atas
kebudayaan dan sejarah, tetapi suatu usaha mendengarkan" di dalam dialog
dengan orang-orang lain yang di dalam mereka kita lihat tengah berlangsung
suatu dialog yang menyelamatkan antara Allah dan manusia.[2]
Hubungan antara
Yesus Kristus dengan Allah di satu pihak dan dengan manusia di pihak lainnya,
menimbulkan pertanyaan mengenai sifat-Nya.Teori tentang dua sifat Yesus, bergumul untuk
menjawab pertanyaan mustahil bagaimana mungkin seorang yang sama dapat
sekaligus adalah Allah dan manusia. Diskusi yang melulu akademis mengenai apa
arti konsep keilahian dan keinsanian dan bagaimana konsep-konsep ini dapat
dipersatukan, dalam hal ini kiranya tidak akan bermanfaat. Juga tidak akan
banyak memperjelas jika kita men- diskusikan apakah keilahian Yesus Kristus
seharusnya dilihat di dalam keinsanian-Nya atau melalui keinsanian-Nya. Adalah
lebih penting menanyakan bagaimana gerangan Realitas yang dijumpai seseorang
dalam diri Yesus dari Nazaret sebagai Tuhan yang hidup dan bangkit, dalam
totalitas hidup, kematian dan kebangkitan-Nya, dan bagaimana, melalui Dia,
dimungkinkan pembaruan hidup''Ciptaan baru" [3]
4. Bagaimana Hubungan Gereja dengan Budaya
4. Bagaimana Hubungan Gereja dengan Budaya
H. Richard Niebuhr dari
Yale University di Amerika serikat telah membuat bagan tentang sikap Gereja
terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap Gereja terhadap kebudayaan
sepanjang zaman dalam 5 sikap, yaitu :
a)
Gereja Anti Kebudayaan.
Gereja memandang dunia di
bawah kekuasaan si jahat sebagai kerajaan kegelapan.Warga Gereja disebut oleh
Injil adalah anak-anak terang, karena itu tidak hidup dalam kegelapan.Dunia
kegelapan ini dikuasai oleh nafsu kedagangan, nafsu mata, kesombongan. Semua
itu akan berlalu sebab mereka akan dikalahkan oleh iman kepada Kristus. [4]
b) Gereja dari Kebudayaan
Kelompok yang menganut Gereja
dari Kebudayaan ini merasa tidak ada ketegangan besar antara gereja dan dunia,
antara Injil dan hukum-hukum sosial, antara karya rahmat Illahi dengan karya
manusia.Mereka menafsirkan kebudayaan melalui Kristus danberpendapat bahwa
pekerjaan dan pribadi Kristus adalah sesuai dengan kebudayaan. Dipihak lain,
kelompok ini berpendapat jika Kristus ditafsirkan melalui kebudayaan, maka
hal-hal yang terbaik dalam kebudayaan adalah cocok dengan ajaran dan kehidupan
Kristus.[5]
Tetapi kaum Gnostik
Kristen menafsirkan Kristus sepenuhnya sesuai dengan konsep kebudayaan, tidak
ada pertentangan antara keduanya.Dengan demikian ada perdamaian Injil dengan
kebudayaan dan karena itu kekristenan telah menjadi sistem agama dan filsafat
dan Gereja hanya sebagai perhimpunan religius bukan sebagai gereja atau
masyarakat baru.Tokoh-tokoh penyesuaian ini dalam sejarah Gereja adalah Clemens
(200) dan Origines (185-254).[6]
c)
Gereja di atas kebudayaan.
Pandangan ini berawal
dari pandangan tingkatan hirarkis dari alam (natural) dan spiritual (rohani).
Menurut Thomas Aquinas (1225-1274), kebudayaan menciptakan aturan suatu
kehidupan sosial yang ditemukan oleh akan budi manusia yang dapat dikenal oleh
semua yang berakal sehat sebab bersifat hukum alam. Tapi disamping hukum alam
ada hukum Ilahi yang dinyatakan Allah melalui para Nabi yang melampaui hukum
alam.Sebagian hukum Ilahi adalah harmonis dengan hukum alam dan sebagaian lagi
melampauinya dan itulah menjadi hukum dari hidup supernatural manusia (ordo
supernaturalis). Hukum Ilahi terdapat dalam perintah: jualah semua apa yang
kamu miliki, berikan kepada orang miskin sedang hukum alam terdapat dalam
perintah kamu tidak boleh mencuri, yaitu hukum yang sama dapat ditemui oleh
akal manusia dan didalam wahyu. Dari contoh itu Thomas Aquinas menyimpulkan
bahwa hukum alam yang ditemui yang terdapat dalam kodrat hidup manusia berada
di bawah ordo supernaturalis.Dengan itu pada abad pertengahan gereja menguasai
seluruh kebudayaan dalam tatanan Corpus Christianum.
d) Hubungan Gereja dan
kebudayaan dalam paradoks.
Dalam pandangan ini,
iman dan kebudayaan dipisahkan.Orang beriman (Kristen) berada dalam dua suasana
yaitu berada dalam kebudayaan dan sekaligus berada dalam anugerah Allah dalam
Kristus.Oleh sebab itu orang beriman dihimpit oleh dua suasana yaitu hidup
dalam iman dan hidup dalam kebudayaan.Dengan itu ada kemungkinan orang tidak
lagi membawa imannya dalam kehidupan dalam kebudayaan.[7]
Kedua lingkungan ini
terpisah dan tidak saling berhubungan. Hal ini mungkin bahwa seorang dapat
hidup berdasarkan imannya pada lingkungan rohani atau hidup menurut imannya
pada lingkungan rahmat dan pada pihak lain ia hidup menurut aturan duniawi
dalam lingkungan dunia.[8]
e)
Gereja pengubah kebudayaan.
Banyak orang Kristen
sepanjang abad tidak menyetujui keempat pendirian tersebut baik dalam teori
maupun dalam politik.Mereka juga tidak bersedia menyerah kepadakebudayaan
karena mereka memahami kebudayaan mempunyai kelemahan-kelemahan.Mereka juga
menolak takluk kepada kebudayaan yang dipaksakan gereja sebab kebudayaan yang
dipaksakan gereja selalu berbentuk sintesa antara kerajaan Allah dan kerajaan
dunia dan ada kecenderungan memandang kebudayaan yang masih berdosa ini
dianggap suci sebab berada di bawah gereja.Tapi adalah tidak benar, jika
dikatakan bahwa kerajaan Allah telah diwujudkan dalam kebudayaan yang
diciptakan gereja. Seorang teolog bernama Augustinus (354-430) telah mempelopori sikap
gereja pengubah kebudayaan. Posisi ini berangkat dari pendirian bahwa tidak ada
suatu kodrat yang tidak mengandung kebaikan, karena itu kodrat setan sendiripun
tidaklah jahat, sejauh itu adalah kodrat, tapi ia menjadi jahat karena dirusak.[9]
5. Tranformasi Kebudayaan dan Gereja
5. Tranformasi Kebudayaan dan Gereja
Transformasi kebudayaan
adalah suatu usaha mengangkat kebudayaan ke tingkat kebudayaan (pola hidup) yang sesuai
dengan rencana dan kehendak Allah untuk manusia yang terus-menerus dikembangkan
dan dihayati dalam hubungan dengan Allah"
Di dalam PL Israel
sebagai bangsa telah mengalami suatu transformasi kebudayaan, yaitu dari kebudayaan
bangsa pengembara menjadi kebudayaan bangsa yang menetap. Proses pemilikan atas
tanah Kanaan yang dijanjikan itu dan pembentukan Israel sebagai bangsa yang
menetap di Negeri Kanaan tidak lain hanya merupakan proses perubahan
kebudayaan; transformasi kebudayaan. Kita telah mendefinisikan kebudayaan
sebagai suatu pola hidup dari suatu kelompok,
masyarakat/bangsa.
Dengan demikian ada pandangan tentang double transformation, artinya bahwa
tidak hanya gereja yang dapat mengubah
budaya, akan tetapi ada juga nilai-nilai budaya yang dapat mengubah
gereja (memberi sumbangan terhadap Injil) yang tumbuh dari konteks budaya itu
sendiri. Maka dari paparan di atas maka dapat
dilihat dua hal yaitu: 1. Pentingnya budaya bagi Gereja dan 2. Pentingnya
Gereja bagi budaya.
a)
Pentingnya
Budaya Bagi Gereja.
Kita semua mengetahui bahwa alkitab ditulis dalam
kurun waktu yang berbeda dan konteks budaya yang berbeda juga, dan hal itu
turut mempengaruhi penafsiran penerima injil. Oleh karena itu, dalam
pemberitaan injil yang diprakasai oleh gereja, sangat penting untuk melihat
konteks budaya setempat dimana injil hendak diberitakan, karena sama dengan
alkitab yang ditulis dengan konteks budaya yang berbeda, demikian juga semua daerah
atau tempat memiliki budayanya masing-masing yang melekat pada diri
masing-masing individu dan mempengaruhi jalannya pewartaan injil pada tempat
atau daerah itu.
Oleh sebab itu gereja dalam pewartaan injil, tidak
mungkin menggunakan budaya yang ada didalam alkitab dan memaksakan begitu saja
agar budaya itu dapat diterima oleh masyarakat setempat.Contoh : dalam
kebanyakan teks alkitab, ditulis dengan menggunakan sistim budaya patriakhi
(dimana laki-laki yang berkuasa), sedangkan tempat yang hendak kita mewartai
injil memiliki sistem budaya natural dimana laki-laki dan perempuan sama-sama
berkuasa. Jadi ketika kita mewartakan injil dalam konteks budaya natural
seperti itu, kita tidak bisa langsung begitu saja memaksakan dan mengharuskan
agar masyarakat yang memiliki sistim budaya natural harus mengikuti sistim
budaya patriakhi, jika kita memaksakan hal seperti itu, maka injil yang akan
kita sampaikan tidak efektif dan tidak menyentuh bagi masyarakat yang memiliki
budaya natural. Oleh karena itu dalam penyampaian injil, bagaimana gereja harus
melihat budaya yang sudah berakar dalam masyarakat serta menjadikan budaya
sebagai fasilitator penyampaian injil dimana injil hendak diwartakan sehingga
dalam penyampaian injil bagaimana gereja tidak memaksakan budaya patriakhi
tetapi gereja kembali merekontekstualisasikan budaya patriakhi dengan konteks
budaya natural yang ada sehingga dalam penyampaian injil akan lebih efektif dan
menyentuh masyarakat karena sesuai dengan konteks budaya masyarakat yang ada
sehingga masyarakat lebih memahami dan mengerti injil yang disampaikan.
b)
Pentingnya
Gereja Bagi Budaya.
Gereja dihadapkan dengan tiga pilihan sikap terhadap
budaya, yaitu: akomodatif, konfrontatif dan
transformatif.
Akomodatif, artinya gereja
mengakomodasi atau menerima budaya sebagai bagian dari gereja.Gereja bersikap
ramah terhadap budaya dimana terjadi perjumpaan harmoni antara gereja dan
budaya.Sikap akomodatif ini teramati pada sikap Paulus ketika memberitakan
Injil di Aeropagus, Atena untuk orang
Yunani. Paulus memakai cara dan tradisi Yunani untuk pemberitaan Injil Kristus
(lih. Kis. 17:16 – 34).
Konfrontatif, gereja berhadap-hadapan dengan budaya.Gereja bertentangan dengan
budaya.Nilai budaya dan praktek upacara adat dianggap tidak tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan.Gereja cenderung curiga terhadap budaya dan upacara adat.Sikap
konfrontatif ini ditunjukkan Petrus ketika berhadapan dengan Kornelius, perwira
Italia di Yope.Petrus menganggap budaya dan kepercayaan-Nya lebih tinggi
derajatnya dari kepercayaan orang asing (Kis. 10:1 48).
Transformatif, hasil karya budaya diterima, dikritisi dan dibaharui sesuai kebenaran
Injil Yesus. Alasannya, a) tidak ada masyarakat yang hidup tanpa budaya dan 2) tidak
ada kebudayaan yang statis. Tugas gereja adalah menguji, apakah kebudayaan itu
sesuai dengan kebenaran Firman Tuhan (Ef. 5 :10, 1 Tes. 5:21, 1 Yoh. 4:1). Ada perjumpaan yang
memungkinkan gereja dan budaya berdialog dan saling membarui.Gereja membarui
budaya dan sebaliknya budaya membarui gereja.Tugas gereja adalah memperbarui budaya dalam terang
Injil (Rm. 3 :23 , 1 Yoh. 5:19), sebagai wujud sikap gereja yang baru dan bersedia memperbarui diri.
Gereja harusnya memilih sikap ketiga yakni
transformatif.Gereja berdialog dengan budaya berdasarkan kesadaran bahwa, baik
gereja maupun budaya memiliki nilai moralitas masing-masing yang mesti
dihargai.Gereja membaharui budaya dengan nilai kebenarannya, sebaliknya budaya
juga memberi sumbangsih nilai moral bagi gereja.
Dalam keberlangsungan
budaya, ada juga budaya yang memberi nilai positif maupun negatif dari maknanya
maupun dari prakteknya. Oleh karena itu, peran gereja ialah untuk
mentransformasikan budaya yang tidak baik agar menjadi baik dengan cara memberi
makna yang baik lewat prosesnya dan lewat praktek dari budaya itu dan gereja
harus tetap mempertahankan budaya yang baik tanpa merusak atau mentransformasi
esensi dari budaya itu.
Catatan Kaki :
[1] http://yuniasministry.blogspot.co.id/2008/11/pertemuan-injil-dan-kebudayaan.html.
Diakses pada tanggal 28 September 2017
[2]
R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011). Hlm. 162
[3]
Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 134-135
[4] Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya,
(Jakarta : Petra Jaya, ___)Hlm 56
[5] Ibid.,
Hlm. 94
[6] Berkhof, I. H, Sejarah Gereja, (Jakarta, BPK G Mulia, 1986).
Hlm. 41
[7 ]Niebuhr, Richard, H, Christand Culture, terj. Satya Karya,
(Jakarta : Petra Jaya, ____). Hlm. 194
[8] Ibid.,
Hlm. 207
[9] Ibid., Hlm. 239
Daftar Pustaka
- Anton Wessels, Memandang Yesus,Jakarta:Bpk Gunung Mulia, 2001
- David J. Hesselrave dan Edward Rommen. Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, Jakarta: Bpk Gunung Mulia, 2009
- Helmut Richard Niebuhr, Christ and Culture, 1951
- Eben Nuban Timo, Pemberita Firman Pencinta Budaya, Jakarta : Bpk Gunung Mulia, 2005
- Choan-Seng Song, Allah yang Turut Menderita, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008
- R. S. Sugirthajah, Wajah Yesus diAsia, Jakarta: BPK Gunung Mulia 2011
- Douglas J Elwood, Teologi Kristen Asia, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2006
Download Filenya, Klik Gereja dan Budaya Populer
No comments:
Post a Comment