Tuesday, 24 July 2018

Kasuke Koyama Teologi Kerbau

Kosuke Koyama adalah seorang murid dari Kitamori dia adalah teolog Jepang yang untuk beberapa tahun lamanya mengajar di sekolah tinggi teologi di Thailand. Kemudian dia menjadi dekan pada South East Asia Graduate School of Theology yang berkedudukan di Singapura, lalu mengajar untuk beberapa tahun lamanya di Universitas Otago di Selandia Baru sebelum ia menjadi staf pengajar di Union Theological Seminary di New York. Kekayaan pengalaman berteologi dalam beberapa kebudayaan yang berbeda-beda tercermin dalam tulisan-tulisannya yang banyak jumlahnya.
Dalam karyanya yang paling terkenal Waterboffalo Theology (Teologi Kerbau) dia mengajukan metode teologi yang dasariah. Judul buku itu saja mengacu pada pendekatan teologis dan hermeneutisnya Koyama, sementara pembagian pasal-pasalnya dengan jelas menyatakan bahwa buku itu adalah suatu latihan penafsiran alkitabiah. Bagian I, Penafsiran Sejarah; Bagian II, Mengakar Injil; Bagian III Penafsiran kehidupan Buddhis Muangthai; Bagian IV, Penafsiran Kehidupan Seorang Kristen. Koyama mulai dengan membicarakan tentang keunikan situasi historis di asia pada umumnya, kemudian dia mengkhususkan pada setiap bangsa. Dia berbicara Pandangan Asia mengenai waktu yang berputar seperti lingkaran, pengalaman Asia yang terjajah dan reaksi Asia terhadap teknologi. Setelah meletakan dasar ini, lalu Koyama mengemukakan tentang perlunya mengakarkan kembali iman Kristen di dalam Asia. Disebabkan oleh konteks sejarah dan kebudayaannya yang unik, Asia mempunyai kesukaran-kesukaran teologis yang menuntut pendekatan-pendekatan dan metodologi-metodologi yang cocok bagi kebutuhannya.[1]
Karena dia adalah seorang utusan misi untuk pendidikan teologi yang dikirim dari Jepang ke Muangthai, Koyama layak untuk berbicara panjang lebar mengenai masalah yang menyangkut pengakaran kembali Iman kristen dalam tanah Muangthai yang beragama Budha. Dia menyatakan bahwa proses pengakaran kembali iman kristen menuntut dari penginjil suatu penafsiran baru mengenai denominasi gerejawi, konsepsi kepribadian, keunikan kehidupan kota di Asia dan perlunya penginjil itu memiliki pikiran yang tersalib.[2]
Satu aspek kreaktivitas yang istimewa dalam Teologi Koyama ialah gambaran-gambarannya diambilnya dari kehidupan sehari-hari, setelah memulai dengan bagian yang singkat dari Alkitab, lalu ia mengaitkannya dengan aspek kehidupan di Asia. Gambaran Koyama yang sedemikian hidup itu keluar langsung dari pengalaman hidup dan kerjanya di Asia.[3]
Dalam perjalananku ke gereja di pedesaan, saya selalu melihat kawanan kerbau yang merumput di sawah yang berlumpur. Pemandangan ini merupakan saat-saat yang penuh ilham bagiku. Mengapa? Karena hal itu mengingatkan kepada orang-orang yang kepada mereka saya membritakan Injil Kristus. Mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya dengan kerbau-kerbau di persawahan. Kerbau-kerbau itu mengatakan kepadaku bahwa aku harus berkhotbah kepada petani-petani itu dengan susunan kata dan cara berfikir paling sederhana. Mereka mengingatkan aku supaya aku membuang semua gagasan pikiran yang abstrak dan hanya memakai obyek-obyek yang nyata.[4]
Koyama dengan tegas menyatakan bahwa pesan Kristus harus disampaikan dengan mengemukakan obyek-obyek yang dapat dikenali dan dimengerti oleh para pendengar (dalam hal ini para petani Muangthai). Dia menempatkan kebutuhsn-kebutuhan para petani lebih tinggi daripada teologi Aquinas, Barth dan yang lain, dan menggunakan gambaran-gambaran yang hidup dari pada ide-ide abstrak dalam mengkomunikasikan injil. Koyama mendasarkan pendekatan teologisnya pada Alkitab, dengan mengutip I Korintus 9 : 22-23. “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.” Dia juga menegaskan bahwa, adalah tugas untuk dia “Membaca Alkitab dan karya-karya teologi dengan memikirkan kebutuhan-kebutuhan anda (Para petani Muangthai). Menurut Koyama, Alkitab dan karya-karya teologi besar oleh Aqinas, Calvin dan Barth tidak akan mendapat hasil kecuali kalau semuanya itu bisa ditafsirkan dan dimengerti secara jelas.[5]
Ini berarti bahwa teologi untuk Muangthai Utara dimulai dan bertumbuh di Muangthai Utara, tidak di tempat lain. Teologi Muangthai Utara itu pasti akan menjadi kenyataan kalau kita berani mengambil keputusan seperti ini. Dalam keputusan inilah awal suatu teologi bagi Muangthai Utara dan untuk Asia. Adalah penting untuk dinyatakan di sini bahwa Koyama tidak menentang teologi sistematika, dia hanya mau memakai teologi untuk menafsirkan pesan kristiani kepada mereka yang tidak biasa berfikir dalam kategori-kategori abstrak. Juga Koyama menegaskan bahwa keprihatinan utama seorang teolog bukanlah agama atau kebudayaan, melaikan manusia yang menjalankan suatu agama dan yang hidup dalam suatu budayanya. Jadi, orang yang mempelajari agama dan kebudayaan yang lain bukanlah untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk dapat lebih baik memahami umat dan agama dan budaya itu.[6]
   Dengan meningkatkan hubunganku dengan orang-orang Budhis dan pengertian bahasa bertambah, aku menyadari bahwa yang menjadi persoalan sebenarnya bukannya satu perangkat doktrin yang disebut Buddhis, melaikan orang atau umat yang hidup menurut doktrin Buddha atau barangkali aku harus mengatakan mereka yang mencoba hidup berdasarkan doktrin Budha. Karena itu perhatian saya beralih dari ajaran agama Budha ke orang-orang yang beragama Budha. Koyama menunjukan bahwa agama Buddha tidak menderita, tidak berkeringat tidak merasa lapar dan tidak menghendaki pemilikan benda-benda. Tapi orang yang beragama Buddha terlibat dalam semua hal itu sebab dia adalah manusia. Oleh karena itu Koyama menekankan pada orang Budha dan buak agama Buddha.[7]
Beberapa prinsip-prinsip penafsiran Alkitabiah dapat dilihat dalam dasar metodologi teologi Koyama[8] :
1.        Ilmu tafsirnya seperti Injil Kristen, menaruh kepedulian kepada manusia, bukan pada ide atau sistim ideologi.
2.       Teologi akademis yang memang perlu untuk sang pendeta dan dosen sekolah teologi, selalu dibaca dengan pengertian yang jelas bahwa yang dibacanya itu akan ditafsirkan dalam konteks oreang-orang yang dilayani oleh seseorang. Kegunaan teologi ditentukan oleh pertanyaan sampai seberapa ia bermanfaat bagi orang-orang itu.
3.       Penafsiran tidak hanya dimulai tempat penafsirannya ada, tetapi juga dimulai dengan situasi khusus dari mereka yang menerima penafsiran tersebut, sebab setiap pribadi unik. Oleh karena itu Koyama memanfaatkan gambaran-gambaran umum yang sederhana namun hidup dalam kehidupan sehari-hari di Muangthai.
4.      Ilmu tafsir Koyama meminta agar penafsir, baik ia orang penginjil, pendeta atau teolog, lebih dahulu harus membuang prasangka pribadinya, supaya dapat memahami prasangka dari orang-orang yang untuknya tafsiran itu telah dibuat. Koyama menyebut hal ini “Pikiran yang tersalib”. Dalam arti tertentu penafsir itu terpanggil untuk menjadi satu inkarnasi pribadi, supaya pesan injil dapat dikomunikasikan dengan makna dan kuasa.
5.       Keterlibatan di dalam suatu kebudayaan tertentu, merupakan satu-satunya tanah dimana teologi bisa bertunas. Kebudayaan membentuk konteks yang umum bagi refleksi teologi, termasuk adat istiadat, bahasa, sikap sosial dan pola-pola pemikiran. Dengan demikian semua teologi adalah teologi kontekstual. Sebagaimana Rasul Paulus yang memakai tradisi Ibrani dalam melayani orang-orang Yahudi dan filsafat Yunani untuk melayani bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka demikian pula penafsir masa kini kita harus memakai gambaran dan tradisi Muangthai Utara dalam melayani orang-orang Muangthai Utara.
6.       Teologi berdasar pada Alkitab. Timur dan Barat mungkin saja berbeda dalam hal filsafat, teologi dan tradisi-tradisinya, tetapi semua orang Kristen memakai Alkitab yang sama. Di dalam Alkitab kita menemukan suatu sumber yang universal untuk pandangan teologi, instruksi praktis dan inspirasi peribadahan. Karena itu teologi kontekstual tidak hanya berakar dalam sejaran dan budaya, tetapi juga dalam Alkitab.


 Catatan Kaki:

[1] Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012), Hal 61-62
[2] Op Cit., Hal 62
[3] Op Cit.,
[4] Op Cit., Hal 62-63
[5] Op Cit., Hal 63
[6] Op Cit.,
[7] Op Cit., Hal 64
[8] Op Cit., Hal 64-65


Download Filenya, klik Kasuke Koyama

No comments:

Post a Comment