Kosuke Koyama adalah seorang murid dari
Kitamori dia adalah teolog Jepang yang untuk beberapa tahun lamanya mengajar di
sekolah tinggi teologi di Thailand. Kemudian dia menjadi dekan pada South East Asia Graduate School of Theology
yang berkedudukan di Singapura, lalu mengajar untuk beberapa tahun lamanya di
Universitas Otago di Selandia Baru sebelum ia menjadi staf pengajar di Union
Theological Seminary di New York. Kekayaan pengalaman berteologi dalam beberapa
kebudayaan yang berbeda-beda tercermin dalam tulisan-tulisannya yang banyak
jumlahnya.
Dalam karyanya yang paling terkenal Waterboffalo Theology (Teologi Kerbau) dia mengajukan metode teologi yang dasariah. Judul buku itu saja mengacu pada pendekatan teologis dan hermeneutisnya Koyama, sementara pembagian pasal-pasalnya dengan jelas menyatakan bahwa buku itu adalah suatu latihan penafsiran alkitabiah. Bagian I, Penafsiran Sejarah; Bagian II, Mengakar Injil; Bagian III Penafsiran kehidupan Buddhis Muangthai; Bagian IV, Penafsiran Kehidupan Seorang Kristen. Koyama mulai dengan membicarakan tentang keunikan situasi historis di asia pada umumnya, kemudian dia mengkhususkan pada setiap bangsa. Dia berbicara Pandangan Asia mengenai waktu yang berputar seperti lingkaran, pengalaman Asia yang terjajah dan reaksi Asia terhadap teknologi. Setelah meletakan dasar ini, lalu Koyama mengemukakan tentang perlunya mengakarkan kembali iman Kristen di dalam Asia. Disebabkan oleh konteks sejarah dan kebudayaannya yang unik, Asia mempunyai kesukaran-kesukaran teologis yang menuntut pendekatan-pendekatan dan metodologi-metodologi yang cocok bagi kebutuhannya.[1]
Dalam karyanya yang paling terkenal Waterboffalo Theology (Teologi Kerbau) dia mengajukan metode teologi yang dasariah. Judul buku itu saja mengacu pada pendekatan teologis dan hermeneutisnya Koyama, sementara pembagian pasal-pasalnya dengan jelas menyatakan bahwa buku itu adalah suatu latihan penafsiran alkitabiah. Bagian I, Penafsiran Sejarah; Bagian II, Mengakar Injil; Bagian III Penafsiran kehidupan Buddhis Muangthai; Bagian IV, Penafsiran Kehidupan Seorang Kristen. Koyama mulai dengan membicarakan tentang keunikan situasi historis di asia pada umumnya, kemudian dia mengkhususkan pada setiap bangsa. Dia berbicara Pandangan Asia mengenai waktu yang berputar seperti lingkaran, pengalaman Asia yang terjajah dan reaksi Asia terhadap teknologi. Setelah meletakan dasar ini, lalu Koyama mengemukakan tentang perlunya mengakarkan kembali iman Kristen di dalam Asia. Disebabkan oleh konteks sejarah dan kebudayaannya yang unik, Asia mempunyai kesukaran-kesukaran teologis yang menuntut pendekatan-pendekatan dan metodologi-metodologi yang cocok bagi kebutuhannya.[1]
Karena dia adalah seorang utusan misi
untuk pendidikan teologi yang dikirim dari Jepang ke Muangthai, Koyama layak
untuk berbicara panjang lebar mengenai masalah yang menyangkut pengakaran
kembali Iman kristen dalam tanah Muangthai yang beragama Budha. Dia menyatakan
bahwa proses pengakaran kembali iman kristen menuntut dari penginjil suatu
penafsiran baru mengenai denominasi gerejawi, konsepsi kepribadian, keunikan kehidupan
kota di Asia dan perlunya penginjil itu memiliki pikiran yang tersalib.[2]
Satu aspek kreaktivitas yang istimewa
dalam Teologi Koyama ialah gambaran-gambarannya diambilnya dari kehidupan
sehari-hari, setelah memulai dengan bagian yang singkat dari Alkitab, lalu ia
mengaitkannya dengan aspek kehidupan di Asia. Gambaran Koyama yang sedemikian
hidup itu keluar langsung dari pengalaman hidup dan kerjanya di Asia.[3]
Dalam perjalananku ke gereja di
pedesaan, saya selalu melihat kawanan kerbau yang merumput di sawah yang
berlumpur. Pemandangan ini merupakan saat-saat yang penuh ilham bagiku.
Mengapa? Karena hal itu mengingatkan kepada orang-orang yang kepada mereka saya
membritakan Injil Kristus. Mereka yang menghabiskan sebagian besar waktunya
dengan kerbau-kerbau di persawahan. Kerbau-kerbau itu mengatakan kepadaku bahwa
aku harus berkhotbah kepada petani-petani itu dengan susunan kata dan cara
berfikir paling sederhana. Mereka mengingatkan aku supaya aku membuang semua
gagasan pikiran yang abstrak dan hanya memakai obyek-obyek yang nyata.[4]
Koyama dengan tegas menyatakan bahwa
pesan Kristus harus disampaikan dengan mengemukakan obyek-obyek yang dapat
dikenali dan dimengerti oleh para pendengar (dalam hal ini para petani
Muangthai). Dia menempatkan kebutuhsn-kebutuhan para petani lebih tinggi
daripada teologi Aquinas, Barth dan yang lain, dan menggunakan
gambaran-gambaran yang hidup dari pada ide-ide abstrak dalam mengkomunikasikan
injil. Koyama mendasarkan pendekatan teologisnya pada Alkitab, dengan mengutip
I Korintus 9 : 22-23. “Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang
yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang
aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan
beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil,
supaya aku mendapat bagian dalamnya.” Dia juga menegaskan bahwa, adalah tugas
untuk dia “Membaca Alkitab dan karya-karya teologi dengan memikirkan
kebutuhan-kebutuhan anda (Para petani Muangthai). Menurut Koyama, Alkitab dan
karya-karya teologi besar oleh Aqinas, Calvin dan Barth tidak akan mendapat
hasil kecuali kalau semuanya itu bisa ditafsirkan dan dimengerti secara jelas.[5]
Ini berarti bahwa teologi untuk
Muangthai Utara dimulai dan bertumbuh di Muangthai Utara, tidak di tempat lain.
Teologi Muangthai Utara itu pasti akan menjadi kenyataan kalau kita berani
mengambil keputusan seperti ini. Dalam keputusan inilah awal suatu teologi bagi
Muangthai Utara dan untuk Asia. Adalah penting untuk dinyatakan di sini bahwa
Koyama tidak menentang teologi sistematika, dia hanya mau memakai teologi untuk
menafsirkan pesan kristiani kepada mereka yang tidak biasa berfikir dalam
kategori-kategori abstrak. Juga Koyama menegaskan bahwa keprihatinan utama
seorang teolog bukanlah agama atau kebudayaan, melaikan manusia yang
menjalankan suatu agama dan yang hidup dalam suatu budayanya. Jadi, orang yang
mempelajari agama dan kebudayaan yang lain bukanlah untuk kepentingan dirinya
sendiri, melainkan untuk dapat lebih baik memahami umat dan agama dan budaya
itu.[6]
Dengan
meningkatkan hubunganku dengan orang-orang Budhis dan pengertian bahasa
bertambah, aku menyadari bahwa yang menjadi persoalan sebenarnya bukannya satu
perangkat doktrin yang disebut Buddhis, melaikan orang atau umat yang hidup
menurut doktrin Buddha atau barangkali aku harus mengatakan mereka yang mencoba
hidup berdasarkan doktrin Budha. Karena itu perhatian saya beralih dari ajaran
agama Budha ke orang-orang yang beragama Budha. Koyama menunjukan bahwa agama
Buddha tidak menderita, tidak berkeringat tidak merasa lapar dan tidak
menghendaki pemilikan benda-benda. Tapi orang yang beragama Buddha terlibat
dalam semua hal itu sebab dia adalah manusia. Oleh karena itu Koyama menekankan
pada orang Budha dan buak agama Buddha.[7]
Beberapa prinsip-prinsip penafsiran
Alkitabiah dapat dilihat dalam dasar metodologi teologi Koyama[8] :
1.
Ilmu
tafsirnya seperti Injil Kristen, menaruh kepedulian kepada manusia, bukan pada
ide atau sistim ideologi.
2.
Teologi
akademis yang memang perlu untuk sang pendeta dan dosen sekolah teologi, selalu
dibaca dengan pengertian yang jelas bahwa yang dibacanya itu akan ditafsirkan
dalam konteks oreang-orang yang dilayani oleh seseorang. Kegunaan teologi
ditentukan oleh pertanyaan sampai seberapa ia bermanfaat bagi orang-orang itu.
3.
Penafsiran
tidak hanya dimulai tempat penafsirannya ada, tetapi juga dimulai dengan
situasi khusus dari mereka yang menerima penafsiran tersebut, sebab setiap
pribadi unik. Oleh karena itu Koyama memanfaatkan gambaran-gambaran umum yang
sederhana namun hidup dalam kehidupan sehari-hari di Muangthai.
4.
Ilmu
tafsir Koyama meminta agar penafsir, baik ia orang penginjil, pendeta atau
teolog, lebih dahulu harus membuang prasangka pribadinya, supaya dapat memahami
prasangka dari orang-orang yang untuknya tafsiran itu telah dibuat. Koyama
menyebut hal ini “Pikiran yang tersalib”. Dalam arti tertentu penafsir itu
terpanggil untuk menjadi satu inkarnasi pribadi, supaya pesan injil dapat
dikomunikasikan dengan makna dan kuasa.
5.
Keterlibatan
di dalam suatu kebudayaan tertentu, merupakan satu-satunya tanah dimana teologi
bisa bertunas. Kebudayaan membentuk konteks yang umum bagi refleksi teologi,
termasuk adat istiadat, bahasa, sikap sosial dan pola-pola pemikiran. Dengan
demikian semua teologi adalah teologi kontekstual. Sebagaimana Rasul Paulus
yang memakai tradisi Ibrani dalam melayani orang-orang Yahudi dan filsafat
Yunani untuk melayani bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka demikian pula penafsir
masa kini kita harus memakai gambaran dan tradisi Muangthai Utara dalam
melayani orang-orang Muangthai Utara.
6.
Teologi
berdasar pada Alkitab. Timur dan Barat mungkin saja berbeda dalam hal filsafat,
teologi dan tradisi-tradisinya, tetapi semua orang Kristen memakai Alkitab yang
sama. Di dalam Alkitab kita menemukan suatu sumber yang universal untuk
pandangan teologi, instruksi praktis dan inspirasi peribadahan. Karena itu
teologi kontekstual tidak hanya berakar dalam sejaran dan budaya, tetapi juga
dalam Alkitab.
Catatan Kaki:
[1]
Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya:
Refleksi Barat di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2012), Hal 61-62
[2]
Op Cit., Hal 62
[3]
Op Cit.,
[4]
Op Cit., Hal 62-63
[5]
Op Cit., Hal 63
[6]
Op Cit.,
[7]
Op Cit., Hal 64
[8]
Op Cit., Hal 64-65
Download Filenya, klik Kasuke Koyama
No comments:
Post a Comment